Langsung ke konten utama

Menyoal Daya Saing Alumni Al-Azhar dan Akademisi Indonesia



Menyoal Daya Saing Alumni Al-Azhar dan Akademisi Indonesia 
oleh Muhammad Syihabudin Alawy

        Masih tertegun dengan pernyataan senior saat masih berada di bangku  Darul Lughoh (DL) kala itu. Pernyataan yang bisa dikatakan akan selalu  membayang-bayangi masisir (mahasiswa Mesir, red) tatkala pulang ke tanah air  nanti. Pernyataan yang seharusnya juga dipikul oleh banyak mahasiswa luar  negeri tentang bagaimana ilmu, riset, pengalaman yang didapatkan jauh-jauh di luar negeri, akan menjadi senjata dan bahan baku kemajuan negara Indonesia  dari berbagai lini, terkhusus dalam pendidikan agama bagi masisir kelak.

        Sekilas hal tersebut mudah saja diwujudkan, mengingat masisir yang  dalam hal ini belajar di lembaga Al-Azhar sudah relevan dengan visi misi tatkala  nantinya berkiprah di dalam negeri. Bagaimana tidak? Pasalnya ada berbagai  macam faktor yang mendasari terwujudnya kemajuan pendidikan agama jika  dikaitkan dengan kurikulum Al-Azhar. Beberapa di antaranya adalah Al-Azhar  selalu mengadakan pelatihan secara kongkrit dalam membekali dakwah para  alumninya yang akan berkhidmah ke tanah air masing-masing.

        Selain itu, materi kuliah, talaqqi, daurah, seminar dan berbagai keputusan serta sikap lembaga Al-Azhar yang moderat, relevan dan selalu aktual  merupakan hal yang selalu disampaikan secara rutin. Maka, idealnya seorang  masisir akan mampu menjawab berbagai tantangan problematika pendidikan  keagamaan tatkala sudah di Indonesia. Namun, dari ribuan masisir yang sudah  pulang ke tanah air, nyatanya hanya sekian persen yang dapat menempati posisi strategis dalam menyongsong kemajuan pendidikan Islam di Indonesia. Mari kita  tilik beberapa faktor kurangnya peran masisir dalam berkiprah di tanah air.

        Faktor umum yang sering terjadi adalah kurangnya memahami konteks  dan persiapan penerapan berkiprah di tanah air. Secara umum, bisa dikatakan  bahwa untuk berkiprah di tanah air diperlukan adanya syarat-syarat yang harus  dipersiapkan untuk bisa masuk di sana. Baik lembaga yang bersifat resmi  pemerintahan maupun swasta. Lembaga resmi akan menerima kiprah yang tidak  kontroversial, tidak bertentangan dengan ideologi dan asas-asas negara serta  relevan dan akurat untuk masyarakat Indonesia. Selain itu, yang terpenting dan  dibutuhkan masyarakat adalah langkah praktis, sesuai realistis dan tidak ribet.

Pengakuan pemikiran, keilmuan, wawasan, dan pengalaman terjun di  lapangan juga menjadi salah satu faktor diterimanya kiprah di masyarakat.  Secara ilmiah, dibuktikan dengan karya berupa buku, berbagai macam jurnal  ilmiah dan sebagainya, pengalaman menulis di website dan semacamnya, atau  mempunyai cannel wawasan pengetahuan ilmiah yang mengedukasi banyak  orang. Sehingga, semakin banyak karya ilmiah yang dihasilkan, maka  kesempatannya akan semakin besar. Semakin banyak masisir yang menempati  posisi strategis dalam lembaga pendidikan, maka perubahan kemajuannya akan  semakin besar.

        Sayangnya, jarang sekali masisir yang menggeluti dunia dialektika ilmiah,  terlebih mengembangkan karyanya ke berbagai jurnal ilmiah dan  mengirimkannya ke beberapa universitas negeri dan swasta. Apalagi jauh jika  disangkutkan dengan produktifitas karya ilmiah mereka. Padahal yang terpenting  dan akan dilirik oleh lembaga negeri adalah kualitas dan kuantitas karya ilmiah  yang dihasilkan. Karena secara penilaian akan lebih efektif menggunakan karya tulisan, dibandingkan praktik secara langsung yang tidak konsisten berdasarkan situasi dan kondisinya.

        Jika melihat potensi keilmuan keislaman masisir, maka sudah tidak  diragukan lagi mereka sudah cukup mumpuni jika diterjunkan dalam berkhidmah  di masyarakat Indonesia. Namun, secara metode dan sistematisnya seringkali  agak terlambat dalam pembelajarannya jika dibandingkan dengan para  akademisi lembaga pendidikan di Indonesia. Padahal secara teori dan materi,  masisir lebih kaya akan ensiklopedi dan wawasan keislaman. Di mana jika dilihat  dari perbandingan sumber primer dan sekunder saja, Al-Azhar mengelaborasi  antara referensi klasik (konvensional) dan referensi kontemporer. 

        Secara tidak langsung, Al-Azhar tidak hanya mengambil sesuatu yang  baru tanpa memfilter pembaruan dan inovasi yang masuk. Tetapi juga  melestarikan referensi klasik yang menjadi mediator antara zaman kenabian  dengan zaman modern. Mengelaborasi keduanya merupakan hal yang efektif  dan esensial, mengingat dampak yang ditimbulkan darinya berupa mengetahui  latar belakang sebuah problematika yang terjadi saat zaman dulu dan terjadi  perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Artinya jika nantinya terjadi  problematika yang sama, namun dengan latar belakang yang berbeda, hukum  atau konsekuensi yang ditimbulkan juga akan berbeda.

        Seperti itulah lembaga Al-Azhar dalam menjaga wawasan dan intelektual  Islam, mengacu pada esensi, relevansi, realitas, moderat dan objektif dalam  menentukan sebuah pokok permasalahan. Dalam realitanya, Al-Azhar sangat  kental sekali dengan budaya dialektikanya. Terbukti banyak sekali karangan para  ulama sejak zaman dulu yang kaya akan ensiklopedis Islam. Terlebih jika  ditambah dengan adanya pembaharuan sejak abad ke-19 Masehi sampai  sekarang. Bahkan, hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan Indonesia Mesir sudah berjalan ratusan tahun, dan pendidikan Mesir memiliki corak modern  dan moderat sehingga dipandang cocok sebagai model pembaaruan pendidikan  Indonesia.

        Selain itu, dalam segi pendidikan klasik di pesantren misalnya, semua  disiplin keilmuan dan sumber rujukan primer maupun sekunder, pasti ada  sangkut pautnya dengan menginduk pada ulama Mesir. Beberapa di antaranya  seperti: kitab Bulughul Maram karya Imam Ibnu hajar Al-Asqalani, lalu kitab-kitab  karangan Imam Suyuti yang secara komprehensif mencakup keseluruhan disiplin  keilmuan Islam. Terlebih jika melihat mazhab yang dianut mayoritas masyarakat  Indonesia dari Imam Syafii yang dalam kaul jadid berada di Mesir, beserta murid muridnya dan pengikut-pengikut terkemuka setelah itu yang mayoritas berasal  dari Mesir.

        Sehingga, dari sisi ini saja peran masisir dan produktifitasnya perlu  dipertanyakan. Sudah saatnya masisir mulai menjajaki banyak kajian ilmiah,  sudah tidak lagi pada penambahan dan pengulangan materi ilmiahnya. Lebih dari  itu, masisir perlu menguji teori dan materi yang mereka dapatkan bagi yang  sudah berada dalam level ini. Sehingga dari banyaknya kajian ilmiah akan  menghasilkan buku-buku, merambah ke jurnal ilmiah dan mulai berani secara  masif ikut andil mengirimkannya ke lembaga resmi ataupun swasta agar diakui  dan dilirik ke depannya. Lantas, tidak ada lagi alasan masisir kalah saing dengan  akademisi yang sudah berada di Indonesia.

Selebihnya, masisir perlu memupuk dari dini, sedikit demi sedikit dalam  berkiprah di Indonesia. Karena barangkali tidak ada kata terlambat jika sudah  kembali ke Indonesia dan sewaktu di Mesir masih belum sempat menjajaki banyak kajian ilmiah dan dialektika masisir, agar terus berusaha secara bertahap  untuk kemudian setelah beberapa lama baru menduduki posisi strategis dalam  pendidikan Islam berskala nasional.


Daftar Pustaka


Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Hubungan Agama Islam dengan Peradaban di  Indonesia”, Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/mohammaddwiantonimareta0487/60e32f3606310e6eb12a5e32 /hubungan -agama-islam-dengan-peradaban-di-Indonesia

- Hubungan Mesir-Indonesia dalam Modernisasi Pendidikan Islam oleh  Muhammad Murtadlo


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan pada suatu apapun. Ma

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) dan pengetahuan yang besifat tashdiqi (definit

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent

10 Prinsip Dasar Ulumul Quran

A. Ta’rif/Definisi Ulumul Quran      Ulumul Quran merupakan kumpulan masalah dan pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.  B. Maudhu’/Objek pembahasan Ulumul Quran        Ulumul Quran adalah satu disiplin ilmu yang fokus membahas masalah-masalah Alquran. Mulai dari pembahasan Nuzulul Quran, penugmpulan ayat-ayat Alquran, urutan ayat, bayanul wujuh (penjelasan tentang peristiwa yang mengiringi turunnya suatu ayat Alquran), Asbabun Nuzul, penjelasan sesuatu yan asing dalam Alquran, dan Daf’us syubuhat (menjawab keraguan yang mempengaruhi  keeksistensian Alquran), Dsb. C.  Tsamroh/Manfaat mempelajari Ulumul Quran Dalam kitab Ta’limul Muta’allim syekh Az-zarnuji mengungkapkan; bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil tersendiri. Adapun hasil dari mempelajari Ulumul Quran adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peristiwa yang mempengaruhi Al quran dari masa baginda nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.  2. Megetahui keraguan-keraguan yang datang dari beberapa arah, ser

10 Prisnsip Dasar Ilmu Nahwu

A.      Takrif: Definisi ilmu Nahwu Dalam pembahasan ini, definisi ilmu Nahwu bisa diketahui dari dua hal: 1.       Secara Etimologi (Bahasa). Lafaz An-nahwu setidaknya memiliki 14 padanan kata. Tapi hanya ada 6 makna yang masyhur di kalangan para pelajar; yakni Al-qoshdu (niat), Al-mitslu (contoh), Al-jihatu (arah tujuan perjalanan), Al-miqdaru (nilai suatu timbangan), Al-qismu (pembagian suatu jumlah bilangan), Al-ba’dhu (sebagaian dari jumlah keseluruhan). النحو Terjemahan Padanan kata Niat النية Contoh المثل Arah الجهة Nilai, Kadar المقدار Bagian القسم Sebagian البعض 2.       Secara Terminologi (istilah). Dalam hal ini Ilmu Nahwu memiliki 3 pengertian:  a) Ilmu Nahwu adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kondisi yang terletak di akhir suatu kalimat, baik kalimat itu berstatus mu’rob maupun mabni, dan ini adalah