Langsung ke konten utama

Asy’ariyah dan Maturidiyah; Mazhab Azhar dan Mayoritas Muslimin

Asy’ariyah dan Maturidiyah; Mazhab Azhar dan Mayoritas Muslimin

oleh Lalu M. Zainul Hilal Muzakki

Keberagaman merupakan bagian dari sunnatullah yang tak mungkin dipisahkan dari manusia. Begitu pula ketika berkaitan dengan interpretasi masing-masing individu terhadap kitab suci. Dalam perjalanannya Islam telah terbagi menjadi beberapa firqah atau golongan, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah SAW bahwa Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang akan selamat adalah ahlussunnah wal jamaah.

Di satu sisi, keberadaan hadis tersebut membuat kaum muslimin semakin perhatian untuk menjaga persatuan dan berhati-hati dalam menafsirkan nash. Namun di sisi lain, bermunculan perseteruan dan klaim sepihak berkaitan dengan ‘ahlussunnah’, bahkan kerap kali sampai berujung pada sikap saling mengkafirkan satu sama lain lantaran berbeda paham.

Meski terbagi menjadi puluhan golongan, mayoritas ulama Islam —termasuk di dalamnya ulama Al-Azhar— meyakini bahwasanya ahlussunnah wal jamaah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Hajar Al-Haitsami : “Yang dimaksud dengan ahlussunnah adalah mereka yang mengikuti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, mereka berdualah imam ahlussunnah.”

Maka muncul pertanyaan, mengapa kedua mazhab ini dianut oleh Al-Azhar dan mayoritas ulama Islam serta diklaim sebagai ‘ahlussunnah’ yang dimaksud oleh Nabi Muhammad SAW? Grand Syaikh Azhar, Ahmad Tayebb dalam Qaul ath-Thayyib, menyampaikan beberapa alasan:

Pertama, pendapat-pendapat Asy'ariyah dan Maturidiyah tidak asing bagi ulama-ulama di masa itu. Meskipun kedua mazhab kalam tersebut bisa terbilang terlambat dalam kemunculannya, yakni pada abad ke-3 Hijriah, namun pendapat-pendapatnya bersesuaian dengan salafush shalih yang datang sebelumnya. Hal ini disebabkan karena keduanya mengikuti mazhab berpikir dari Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah yang diyakini bersambung dengan Rasulullah SAW.

Kedua mazhab ini pun diketahui tak memiliki banyak perbedaan dalam pendapatnya. Padahal kedua imam tersebut terpaut wilayah yang cukup jauh dan tak pernah bertemu satu sama lain. Sebagaimana yang disampaikan Dr. Ibrahim Hudhud dalam salah satu muhadharah-nya : “Imam Abu Mansur Al-Maturidi dan Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, keduanya adalah imam besar Sunni tapi mereka berdua ini belum pernah bertemu, padahal mereka hidup sezaman. Dan mereka berdua ini tidak ada yang mengikuti pemikiran yang lain. Tetapi mereka berdua bertemu dalam ushul dan hanya memiliki perbedaan dalam tiga belas permasalahan kecil saja.” Hal ini tentunya memperkuat bahwa pandangan Imam Asy’ari dan Imam Maturidi berasal dari satu sumber yang sama, yaitu Rasulullah yang diteruskan melalui para sahabat dan tabiin.

Kedua, moderasi dalam menempatkan akal dan nash. Dalam hal ini Asy'ariyah maupun Maturidiyah menempatkan akal dan nash pada tempat yang sama, serta tak berlebihan dalam menakwilkan suatu ayat. Bagi keduanya, akal maupun nash berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga tak mungkin akal dan nash terjadi pertentangan. Namun secara zhahir lafaz bisa jadi berbeda dari akal, sehingga diperlukan suatu takwil terkait nash tersebut.

Berbeda dengan Mu’tazilah yang mengeksploitasi akal dan takwil secara berlebihan sehingga kerap kali mendatangkan sesuatu yang sebelumnya tak pernah ada. Dimana Mu’tazilah kerap kali terjebak dalam ideologi mereka sekalipun berlawanan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai contoh, mereka berpandangan bahwa ada tempat ketiga selain surga dan neraka yang muncul karena ideologi mereka mengenai “Tuhan harus adil”.

Adapun sebagian Hanabilah yang juga dikenal dengan Mujassimah, mereka sering kali terpaku pada zhahir lafaz yang menyebabkan mereka membuang akal bila terjadi pertentangan dengan nash. Bahkan pendapat yang lebih ekstrim lagi, mereka mengklaim bahwa tak ada majaz di dalam Al-Qur’an. Pendapat semacam ini tentu menjerumus pada adanya sifat-sifat yang pantas bagi Allah SWT serta kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Moderasi lainnya dapat kita temukan dalam pandangan mengenai af’alul ibad atau yang lebih akrab dengan sebutan takdir. Dimana dalam hal ini ada kelompok yang meyakini bahwa takdir seluruhnya dari Allah SWT, yang membuat munculnya kejumudan dalam umat serta kelompok yang meyakini bahwa Allah SWT tak punya andil dalam takdir. Dimana Asyairah dan Maturidi menempatkan bahwa takdir berasal dari Allah SWT namun tak lepas dari andil manusia yang dikenal dengan “kasb”.

Ketiga, Asy'ariyah dan Maturidiyah tak gampang dalam mengkafirkan serta memudahkan bagi orang awam. Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Asakir, bahwa sebelum kematiannya Imam Asy’ari berwasiat : “Bersaksilah bahwa aku tak mengkafirkan siapapun dari ahlul qiblah (muslim), karena seluruhnya menuju pada Tuhan Yang Maha Esa.”

Selain itu Asy'ariyah maupun Maturidiyah tidak mewajibkan pengetahuan terhadap dalil sebagai syarat keimanan. Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah dimana mereka mewajibkan pengetahuan terhadap dalil sebagai syarat sahnya keimanan seseorang.

Begitulah penyebab mengapa Azhar dan mayoritas kaum muslimin memilih Asy'ariyah dan Maturidiyah sebagai mazhabnya, serta meyakini bahwa keduanya lah yang disebut dengan ahlussunnah wal jamaah. Perbedaan sebagaimana telah disinggung sebelumnya sudah merupakan sunnatullah yang tak dapat dihindari manusia. Tentunya menyatukan pendapat setiap individu adalah sesuatu yang nyaris mustahil.

Meski demikian, bukan berarti adanya perbedaan akan tetap menghasilkan perseteruan tanpa henti. Oleh karena itu, keberadaan Asy'ariyah dan Maturidiyah yang tak hanya mengklaim kebenaran sendiri, namun juga melebarkan tangan bagi kelompok lainnya tanpa saling mengkafirkan satu sama lain, serta menjadi angin segar bagi kaum muslimin demi tercapainya kehidupan yang harmonis ditengah perbedaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan pada suatu apapun. Ma

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) dan pengetahuan yang besifat tashdiqi (definit

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent

10 Prinsip Dasar Ulumul Quran

A. Ta’rif/Definisi Ulumul Quran      Ulumul Quran merupakan kumpulan masalah dan pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.  B. Maudhu’/Objek pembahasan Ulumul Quran        Ulumul Quran adalah satu disiplin ilmu yang fokus membahas masalah-masalah Alquran. Mulai dari pembahasan Nuzulul Quran, penugmpulan ayat-ayat Alquran, urutan ayat, bayanul wujuh (penjelasan tentang peristiwa yang mengiringi turunnya suatu ayat Alquran), Asbabun Nuzul, penjelasan sesuatu yan asing dalam Alquran, dan Daf’us syubuhat (menjawab keraguan yang mempengaruhi  keeksistensian Alquran), Dsb. C.  Tsamroh/Manfaat mempelajari Ulumul Quran Dalam kitab Ta’limul Muta’allim syekh Az-zarnuji mengungkapkan; bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil tersendiri. Adapun hasil dari mempelajari Ulumul Quran adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peristiwa yang mempengaruhi Al quran dari masa baginda nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.  2. Megetahui keraguan-keraguan yang datang dari beberapa arah, ser

10 Prisnsip Dasar Ilmu Nahwu

A.      Takrif: Definisi ilmu Nahwu Dalam pembahasan ini, definisi ilmu Nahwu bisa diketahui dari dua hal: 1.       Secara Etimologi (Bahasa). Lafaz An-nahwu setidaknya memiliki 14 padanan kata. Tapi hanya ada 6 makna yang masyhur di kalangan para pelajar; yakni Al-qoshdu (niat), Al-mitslu (contoh), Al-jihatu (arah tujuan perjalanan), Al-miqdaru (nilai suatu timbangan), Al-qismu (pembagian suatu jumlah bilangan), Al-ba’dhu (sebagaian dari jumlah keseluruhan). النحو Terjemahan Padanan kata Niat النية Contoh المثل Arah الجهة Nilai, Kadar المقدار Bagian القسم Sebagian البعض 2.       Secara Terminologi (istilah). Dalam hal ini Ilmu Nahwu memiliki 3 pengertian:  a) Ilmu Nahwu adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kondisi yang terletak di akhir suatu kalimat, baik kalimat itu berstatus mu’rob maupun mabni, dan ini adalah