Langsung ke konten utama

Aktualisasi Nilai-Nilai Bermasyarakat Berlandaskan al-Hujurat Ayat 9 - 13 dalam Interaksi Sosial Masisir

Aktualisasi Nilai-Nilai Bermasyarakat Berlandaskan al-Hujurat Ayat 9-13 dalam Interaksi Sosial Masisir

Oleh: Fayyadh Muchlis Muhammad Hanafi, Tingkat 2 Ushuluddin

Dewasa ini, kuantitas masisir sudah menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dengan bertambahnya jumlah, tentu membuat interaksi yang terjadi didalam lingkup bermasyarakat mahasiswa di Mesir menjadi semakin intens. Problematika yang terjadi dalam interaksi sosial di masyarakat, khususnya di ranah masisir pun kian muncul dan tidak ada habisnya untuk dibahas.

Dilansir dari Bimo Walgito (1990: 57), interaksi sosial merupakan hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Sedangkan menurut H. Bonner (dalam Abu Ahmadi, 2002: 54), interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.

Oleh karena itu, manusia sebagai makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya memerlukan pedoman untuk menjaga hubungan tersebut tetap baik. Al-Qur’an sebagai sebagai kitab suci yang universal –tak lekang oleh waktu dan tempat– tentu menjadi pedoman utama dalam setiap langkah umat manusia. Didalamnya, terdapat berbagai pesan dan nilai yang menuntun masyarakat menuju ke arah yang lebih baik serta memainkan peran sebagai pemecah problematika yang ada. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Al-Qur’an merupakan buku pertama yang memperkenalkan hukum kemasyarakatan (Nurdin, 2007:219).

Dalam konteks yang lebih sempit lagi, mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Mesir (Masisir) telah menjadi miniatur kemultikulturalan dari Indonesia yang memiliki lebih dari 270 juta jiwa. Kuantitas yang semakin membengkak kian memunculkan berbagai problematika yang ada dalam masyarakat Indonesia, namun dengan skala yang lebih kecil.

Tidak jarang, interaksi Masisir yang begitu intens menuai berbagai konflik. Hal tersebut menjadi sebuah kewajaran, karena yang terpenting adalah bagaimana penyelesaian dari hal tersebut. Penulis disini mencoba menghadirkan Surat al-Hujurat ayat 9-13 sebagai pedoman utama masyarakat dalam berinteraksi dan menyelesaikan konflik. Karena Islam bukan sekadar agama yang mengajarkan ibadah saja, namun juga mengajarkan akhlak dan pergaulan yang baik antar sesama manusia. Tidak hanya mengajarkan hubungan vertikal (habl min Allah) saja tapi juga mengajarkan hubungan horizontal (habl min al-Naas). Keduanya harus seimbang dan beriringan karena islam memiliki tujuan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin).

Para mufasir melihat bahwa Surat al-Hujurat ayat 9-13 mengandung nilai-nilai kemasyarakatan yang sesuai seiring dengan perkembangan zaman. Tentunya, memahami suatu makna dalam Al-Qur’an tak dapat terlepas dari tafsir didalamnya. Kitab Tafsir yang menjadi sumber utama dalam tulisan ini adalah Tafsir Al-Mishbah karya Prof. Dr. Quraish Shihab, seorang mufasir kontemporer Indonesia. Penulis tertarik menggunakan tafsir tersebut, karena Prof. Dr. Quraish Shihab merupakan seorang alumni Al-Azhar, sehingga dirasa sangat relevan dengan zaman sekarang.

 

Al-Hujurat ayat 9

“Jika ada dua golongan orang-orang mukmin bertikai, damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap (golongan) yang lain, perangilah (golongan) yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), damaikanlah keduanya dengan adil. Bersikaplah adil! Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bersikap adil.”

Dalam ayat 9 di Surat al-Hujurat, terdapat perintah untuk melakukan islah sebanyak dua kali. Yang pertama faashlihu bainahuma tanpa diikuti dengan kata bil ‘adl dengan adil. Hal ini bukan berarti bahwa ishlah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja yang kedua lebih ditekankan lagi diperintahkan untuk berlaku adil. Faashlihuu bainahuma bi al ‘adli wa  aqsithuu, hal ini dikarenakan yang kedua telah didahului oleh tindakan terhadap kelompok yang enggan menerima islah yang pertama.

Menurut Quraish Shihab, kata al-muqsithiin terambil dari kata qisth yang juga bisa diartikan adil. Sementara para ulama ada yang mempersamakan antara makna qisth dan ‘adl. Ada pula yang membedakannya dengan berkata bahwa al-qisth adalah keadilan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedangkan ‘adl adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak.

Berdasarkan pemaparan tafsir diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah SWT memerintahkan untuk melakukan islah antara dua kelompok mukmin yang bertikai dengan didahulukannya ‘adl diatas qisth. Hal tersebut berarti bahwa Allah SWT tetap memerintahkan untuk bertindak adil meskipun membuat salah satu pihak tidak senang.

 

Al-Hujurat ayat 10

”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.”

Ayat selanjutnya memerintahkan untuk meletakkan perdamaian antara dua kelompok orang-orang beriman, hal tersebut menjadi urgensi sebab hubungan setiap manusia merupakan saudara. Dalam lingkup Masisir, ini menjadi lebih penting lagi karena masisir merupakan pelajar yang jauh dari rumah. Sudah sepatutnya setiap Masisir berinteraksi satu sama lain layaknya saudara yang saling menjaga dan melindungi.

 

Al-Hujurat ayat 11

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim.”

Setelah ayat yang memerintahkan untuk islah akibat pertikaian yang muncul, Allah SWT mengisyaratkan dalam firman-Nya di ayat 11 tentang beberapa hal yang perlu dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. Diantaranya adalah larangan untuk mengolok-olok dan memanggil dengan panggilan yang buruk. Tidak sepatutnya bagi masisir untuk saling mengolok-olok atau merendahkan satu sama lain, apalagi sampai memanggil dengan panggilan yang buruk.

 

Al-Hujurat ayat 12-13

“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”

Jika diperhatikan lebih lanjut, dalam ayat 12, terdapat pengulangan panggilan “Wahai orang-orang beriman” yang diulangi untuk kelima kalinya di surat ini. Ayat ini menitikberatkan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi, yaitu dugaan, prasangka buruk, dan mencari-cari kesalahan orang lain.

Setelah Allah SWT memanggil dengan sebutan “Wahai orang-orang beriman” di ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah SWT memanggil dengan sebutan “Wahai manusia”. Ini mengisyaratkan tentang prinsip dasar hubungan antar manusia secara universal, bahwa setiap manusia harus bermuamalah dengan manusia yang berbeda gender, suku, bangsa, bahkan agama dengan sebaik-baiknya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam al-Hujurat ayat 9-13 untuk diterapkan di masisir

Dari Surat al-Hujurat ayat 9-13 diatas, terdapat beberapa nilai kemasyarakatan yang memiliki bentuk perintah. Nilai-nilai tersebut sangat penting untuk bekal masisir di masyarakat.

Pertama, Al-Islah (Perdamaian). Ishlah disini merupakan upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu sehingga manfaatnya lebih banyak lagi.

Kedua, Al-‘Adl (Adil). Ayat diatas memerintahkan untuk berlaku adil dalam islah karena manusia tidak dapat hidup sendirian, selalu membutuhkan orang lain. Keniscayaan untuk melahirkan perlunya aturan hidup bersama yang bisa menjaga perdamaian antara satu sama lain. Adapun konsep adil yang paling tepat untuk Masisir adalah berarti memperlakukan orang lain sebagaimana diri sendiri ingin diperlakukan.

Ketiga, Ukhuwah (Persaudaraan). Suatu masyarakat atau lebih khususnya komunitas Masisir tidak akan berdiri tegak tanpa adanya jalinan persaudaraan. Persaudaraan pun mustahil terwujud apabila tidak ada rasa kepedulian satu sama lain. Menurut Quraish Shihab (2002:601), setelah ayat yang memerintahkan perdamaian antara dua kelompok orang beriman, ayat di atas menjelaskan mengapa hal itu perlu dilakukan. Ukhuah perlu disebabkan karena sesungguhnya orang-orang mukmin itu terhimpun dalam satu keimanan yang membuat satu sama lain memiliki keterikatan yang paling kuat, keimanan. Oleh karena itu, tidak layak bagi seorang mukmin untuk bertikai.

Keempat, Ta’aruf (saling mengenal). Kata ta’arafu diambil dari kata ‘arafa yang berarti mengenal. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna timbal balik. Dengan demikian, ia bermakna saling mengenal. Saling mengenal dalam lingkup masisir memiliki banyak manfaat, ia dibutuhkan untuk saling mengambil pelajaran dan pengalaman untuk meningkatkan intelektualitas dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan mengenal, masisir dapat dengan mudah saling membantu apabila terdapat kesulitan.

Terakhir, Al-Musawah (persamaan derajat). Islam datang untuk manusia dengan menghadirkan bahwa semua manusia adalah sama. Tidak peduli datang dari suku dan bangsa manapun, memiliki jabatan setinggi apapun, laki-laki atau perempuan pun, semua sama di mata Allah SWT. Yang membedakannya hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT.

Selain perintah di atas, juga banyak larangan-larangan seperti: mengolok-olok, mengejek, panggil memanggil dengan gelar yang buruk, berprasangka buruk (su’uzhan), mencari-cari kesalahan orang lain, menggunjing, dsb. Kesemuanya memiliki relevansi nilai-nilai kemasyarakatan dalam kehidupan Masisir karena keberagaman suku, budaya, ras, dan adat istiadat dapat ditemui dengan mudah di lingkup Masisir. Maka dari itu, diharapkan dengan teraktualisasinya nilai-nilai tersebut dapat menciptakan interaksi Masisir yang lebih aman, tentram, sehingga menjadi bekal untuk terjun ke kehidupan bermasyarakat yang lebih luas di Indonesia.


Editor: Nahwa Haya Aghniarizka

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan pada suatu apapun. Ma

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) dan pengetahuan yang besifat tashdiqi (definit

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent

10 Prinsip Dasar Ulumul Quran

A. Ta’rif/Definisi Ulumul Quran      Ulumul Quran merupakan kumpulan masalah dan pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.  B. Maudhu’/Objek pembahasan Ulumul Quran        Ulumul Quran adalah satu disiplin ilmu yang fokus membahas masalah-masalah Alquran. Mulai dari pembahasan Nuzulul Quran, penugmpulan ayat-ayat Alquran, urutan ayat, bayanul wujuh (penjelasan tentang peristiwa yang mengiringi turunnya suatu ayat Alquran), Asbabun Nuzul, penjelasan sesuatu yan asing dalam Alquran, dan Daf’us syubuhat (menjawab keraguan yang mempengaruhi  keeksistensian Alquran), Dsb. C.  Tsamroh/Manfaat mempelajari Ulumul Quran Dalam kitab Ta’limul Muta’allim syekh Az-zarnuji mengungkapkan; bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil tersendiri. Adapun hasil dari mempelajari Ulumul Quran adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peristiwa yang mempengaruhi Al quran dari masa baginda nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.  2. Megetahui keraguan-keraguan yang datang dari beberapa arah, ser

10 Prisnsip Dasar Ilmu Nahwu

A.      Takrif: Definisi ilmu Nahwu Dalam pembahasan ini, definisi ilmu Nahwu bisa diketahui dari dua hal: 1.       Secara Etimologi (Bahasa). Lafaz An-nahwu setidaknya memiliki 14 padanan kata. Tapi hanya ada 6 makna yang masyhur di kalangan para pelajar; yakni Al-qoshdu (niat), Al-mitslu (contoh), Al-jihatu (arah tujuan perjalanan), Al-miqdaru (nilai suatu timbangan), Al-qismu (pembagian suatu jumlah bilangan), Al-ba’dhu (sebagaian dari jumlah keseluruhan). النحو Terjemahan Padanan kata Niat النية Contoh المثل Arah الجهة Nilai, Kadar المقدار Bagian القسم Sebagian البعض 2.       Secara Terminologi (istilah). Dalam hal ini Ilmu Nahwu memiliki 3 pengertian:  a) Ilmu Nahwu adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kondisi yang terletak di akhir suatu kalimat, baik kalimat itu berstatus mu’rob maupun mabni, dan ini adalah