Langsung ke konten utama

Abu Hasan al-Asyari; Penopang Akidah Umat Islam


Abu Hasan al-Asyari: Penopang Akidah Umat Islam

oleh M. Riyan Haidar Aly

Dalam menerima pengetahuan, manusia memiliki beberapa sumber pengetahuan yang membuat manusia dari tidak tahu menjadi tahu yang dinamakan dengan mashādir marifah. Di antaranya: akal, pengalaman indrawi, khabar sahih, dan ilham. Dari keempat sumber ini, manusia memiliki kecenderungannya masing-masing. Di antara mereka lebih suka menggunakan logika dalam mencari pengetahuan, ada juga yang lebih suka menggunakan pengalaman empiris atau berdasarkan pengamatan indrawi, dll.

Begitu pun dalam menerima ilmu keagaamaan, khususnya ilmu akidah atau teologi. Manusia menerima ilmu tidak jauh dari keempat sumber yang telah disebutkan  di atas. Karena adanya kecenderungan dalam menerima sumber pengetahuan ini, para ulama merasa perlu mengajarkan ilmu akidah berdasarkan keempat sumber ini demi memenuhi kebutuhan umat Islam. Hal ini menjadi penyebab mengapa para ulama akidah memiliki mazhab yang beragam.

Di antaranya adalah Imam Abu al-Hasan al-Asyari. Ulama yang harum namanya di bumi Nusantara ini sering menggunakan logika dalam menyampaikan ilmu akidah, sehingga mampu menyelamatkan umat islam dari pemahaman-pemahaman yang menyimpang.

Imam al-Asyari juga merupakan tokoh penting dalam perkembangan teologi Islam. Ia mencoba melakukan penelitian terhadap teologi Islam yang berkembang di era itu. Ia melakukan perjalanan spiritual hingga menemukan racikan pemahaman teologi Islam yang benar. Hingga saat ini, ilmu yang ia kembangkan menjadi satu mazhab besar dalam teologi Islam bernama Asy’ariyah yang dinikmaati oleh generasi setelahnya. Oleh karena itu, perlu bagi umat islam mengetahui kehidupan salah satu ulama ini sebagai tanda jasa menikmati jerih payahnya sekaligus menganalisis terbentuknya mazhab Asy'ariyah.

Kehidupan Imam al-Asy'ari

Beliau memiliki nama lengkap Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abu Musa al-Asya'ri. Penisbatan al-Asyari ternyata diambil dari nama buyutnya yang merupakan sahabat nabi. Abu Hasan al-Asyari lahir di Basrah pada tahun 260 H.

Semasa kecilnya, ia diwasiatkan oleh ayahnya agar belajar agama kepada ulama pakar fikih di Bashrah, yakni Zakariya bin Yahya as-Saji. Tidak hanya syekh Zakariya  As-Saji, Imam Asy’ari juga belajar kepada ulama Bashrah lainnya, seperti: Abu Khalifah al-Jamhi, Muhammad bin Yaqub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf, dan ulama Bashrah lainnya.

Dikenal dengan manhajnya yang sesuai dengan Ahlussunnah wal Jamaah, justru Imam Asy’ari berguru ilmu kalam kepada ayah tirinya yang merupakan pembesar Muktazilah di Basrah. Selama puluhan tahun ia belajar ilmu kalam kepada ayah tirinya. Meskipun belajar kepada pembesar Muktazilah, pola pikir Imam Asy’ari terbangun berbalik dengan pemahaman ayah tirinya.


Tidak hanya Muktazilah saja, kelompok yang terkenal menyimpang pada era Abu Hasan al-Asyari seperti Ateisme, Rafidah, Jamhiyah dan Khawarij juga ia lawan dengan dalil yang benar. (Tabyin Kizb al-Muftari. 1928. Hal. 35)

Penyebab Pindahnya Imam Asy’ari

Selama belajar dengan ayah tirinya, Imam Asy’ari menemukan beberapa keanehan dalam pemahamannya, hal ini membuat Imam Asy’ari merasa tidak nyaman untuk belajar dengan ayah tirinya. Hingga suatu saat Imam Asy’ari memutuskan untuk menyendiri di rumah, menghindari interaksi kepada manusia selama 15 hari. Ia mendiagnosis kembali ilmu yang telah dipelajari dari ayah tirinya.

Selama 15 hari di rumah, Imam Asy’ari menempuh perjalanan spiritual yang membuat mantap hatinya bahwa pemahaman yang selama ini ia pelajari menyimpang. Selama menyendiri di rumah, ia bertemu Rasulullah di dalam mimpinya sebanyak 3 kali. Di dalam mimpinya, Rasulullah berpesan untuk tetap berpegang teguh kepada Al- Qur’an dan sunnah. Pada kesempatan itu pula Imam Asyari menanyakan beberapa permasalahan dalam ilmu akidah kepada Rasulullah. Ia menemukan banyak sekali perbedaan dengan apa yang diajari oleh ayah tirinya. Dari sinilah ia meyakini bahwa apa yang dibawakan oleh ayah tirinya merupakan pemahaman yang salah. (Abu al- Hasan al-Asyari. 1973. Hal. 62)

Setelah 15 hari ia menyendiri di rumah, Imam Asy’ari keluar menuju masjid dan menaiki mimbar. Ia mendeklarasikan dirinya kepada para jamaah bahwa pemahaman yang selama ini ia bangun berbanding terbalik dengan apa yang dikehendaki oleh Rasulullah. Ia menceritakan pengalaman spiritualnya selama 15 hari kepada para  jamaah.


ولم يترجح عندي حق على باطل وال


معاشر النَّاس إِنَّ َما تغيبت ع ْن  ُكم ه ِذه ا ْلمدَّة ألنى نظرت فتكافأت عندى ا ْألَ ِدلَّة


ه ِذه وانخلعت من ج ِميع ما كنت أعتقده


باطل على حق فاستهديت هللا تَ َعالَى فهداني الى اع ِتقَاد ما أودعته  ِفي كتبي

َك َما انخلعت من ثوبي


“Wahai manusia, selama ini aku menutup diri dari kalian hanya untuk meneliti. Dan menjadi sama bagiku beberapa dalil dan aku tidak bisa membedakan mana yang batil dan hak sampai aku meminta petunjuk kepada Allah. Lalu Allah memberiku hidayah berupa keyakinan kepada apa yang aku tulis. Aku melepaskan segala seuatu yang aku yakini selama ini (akidah yang menyimpang) seperti aku melapas baju ini(Tabyin Kizb al-Muftari. 1928. Hal. 39)

Kejadian ini pula yang melatarbelakangi Imam Asy'ari menulis beberapa kitab seperti al-Luma’ fī al-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa al-Bida’ sebagai konter kepada mazhab bid’ah dan pembelaan terhadap mazhab Ahlussunnah wal Jamaah. Selama 40 tahun lamanya ia mengikuti manhaj gurunya berupa manhaj Muktazilah. Setelah itu ia  mulai membuka kedok sekte-sekte yang menurut ia menyimpang dari apa yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya.


Imam Asy’ari wafat di usia 64 tahun di kota Baghdad pada tahun 324 H. Ia dimakamkan dekat dengan pusara Imam Ahmad di daerah Baghdad dekat dengan perbatasan kota Baghdad dan Basrah. Setelah wafatnya, para ulama fikih banyak mengklaim Imam Asyari termasuk dari golongan mazhabnya. Ulama mazhab Maliki mengklaim bahwa Imam Asy’ari merupakan ulama bermazhab Maliki. Sedangkan dari kalangan Syafi’i mengklaim bahwa ia termasuk dari ulama bermazhab Syafi’i, begitupun seterusnya.

 

 

Perbedaan Asy’ariyah dengan Muktazilah

Dalam bidang ilmu kalam, Asy’ariyah memiliki beberapa perbedaan pemahaman yang signifikan dengan muktazilah.

Pertama, dalam permasalahan eksistensi al-qur’an. Muktazilah menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang Hādits (baru). Sedangkan, menurut Asy’ariyah Al-Qur’an atau kalam Allah itu terbagi menjadi dua; kalam nafsī dan kalam lafzī. Kalam nafsī merupakan kalam yang tidak berupa huruf dan suara. Asy’ariyah menganggap kalam ini bersifat qodīm. Sedangkan kalam lafzī itu berupa Al-Qur’an yang memiliki wujud Asy’ariyah menggangap kalam ini Hādits.

Kedua, dalam pembahasan Af’āl al-Ibād. Asy’ariyah meyakini bahwa semua perbuatan hamba itu diciptakan oleh Allah, dalam artian bahwa hanya Allah lah yang mampu memberikan pengaruh kepada hambanya. Sedangkan menurut muktazilah  bahwa hamba memiliki kemampuan untuk menciptakan perbuatannya sendiri.

Ketiga, dalam permaslahan ru’yatullah. Asy’ariyah menyimpulkan dari beberapa dalil Al-Qur’an, bahwa manusia dapat melihat tuhannya kelak di akhirat nanti. Sedangkan kalangan Muktazilah menolak adanya ru’yatullah di akhirat nanti. Mereka berargumen bahwa bagaimana pun sesuatu yang dilihat pasti nampak keberadaannya menempati suatu ruang. (Al-Qoul as-Sadid. 2021)

Karya-Karyanya

Dalam teologi islam, Imam Asy’ari menulis banyak kitab seperti; al-Ibānah ‘an Ushūl ad-Diyānah, Maqālāt Islāmiyyin, Risālah ila Ahl al-Tsaghar, al-Luma’ al-Radd ‘alā Ahl al-Zaygh wa al-Bida’, Risālah al-Imān. Tidak hanya dalam ilmu kalam, Imam Asyari juga menulis kitab di bidang yang variatif seperti kitab al-Mukhtazin dalam bidang tafsir, al-Ijtihād dan al-Qiyās dalam ilmu Ushul fiqh. (Tabyin Kizb al-Muftari. 1928. Hal. 130)

Daftar Pustaka

Maktabah as-Syamilah

Ibnu Asakair. 1928. Tabyin Kizb al-Muftari. Damaskus: at-Taufiq.

Gharabah, Hamudah. 1973. Abu al-Hasan al-Asyari. Kairo: Majma’ Buhuts al-Islamiyah

Abu Daqiqah, Mahmud. 2021. Al-Qoul as-Sadid. Kairo.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan pada suatu apapun. Ma

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) dan pengetahuan yang besifat tashdiqi (definit

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent

10 Prinsip Dasar Ulumul Quran

A. Ta’rif/Definisi Ulumul Quran      Ulumul Quran merupakan kumpulan masalah dan pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.  B. Maudhu’/Objek pembahasan Ulumul Quran        Ulumul Quran adalah satu disiplin ilmu yang fokus membahas masalah-masalah Alquran. Mulai dari pembahasan Nuzulul Quran, penugmpulan ayat-ayat Alquran, urutan ayat, bayanul wujuh (penjelasan tentang peristiwa yang mengiringi turunnya suatu ayat Alquran), Asbabun Nuzul, penjelasan sesuatu yan asing dalam Alquran, dan Daf’us syubuhat (menjawab keraguan yang mempengaruhi  keeksistensian Alquran), Dsb. C.  Tsamroh/Manfaat mempelajari Ulumul Quran Dalam kitab Ta’limul Muta’allim syekh Az-zarnuji mengungkapkan; bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil tersendiri. Adapun hasil dari mempelajari Ulumul Quran adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peristiwa yang mempengaruhi Al quran dari masa baginda nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.  2. Megetahui keraguan-keraguan yang datang dari beberapa arah, ser

10 Prisnsip Dasar Ilmu Nahwu

A.      Takrif: Definisi ilmu Nahwu Dalam pembahasan ini, definisi ilmu Nahwu bisa diketahui dari dua hal: 1.       Secara Etimologi (Bahasa). Lafaz An-nahwu setidaknya memiliki 14 padanan kata. Tapi hanya ada 6 makna yang masyhur di kalangan para pelajar; yakni Al-qoshdu (niat), Al-mitslu (contoh), Al-jihatu (arah tujuan perjalanan), Al-miqdaru (nilai suatu timbangan), Al-qismu (pembagian suatu jumlah bilangan), Al-ba’dhu (sebagaian dari jumlah keseluruhan). النحو Terjemahan Padanan kata Niat النية Contoh المثل Arah الجهة Nilai, Kadar المقدار Bagian القسم Sebagian البعض 2.       Secara Terminologi (istilah). Dalam hal ini Ilmu Nahwu memiliki 3 pengertian:  a) Ilmu Nahwu adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kondisi yang terletak di akhir suatu kalimat, baik kalimat itu berstatus mu’rob maupun mabni, dan ini adalah