Langsung ke konten utama

Membongkar Kerancuan Pemikiran Radikal (Bag. 2)

(Diterjemahkan oleh Tim Terjemah SEMA-FU, dari artikel Prof. Dr. Syauqi Ibrahim 'Allam di Majalah al-Azhar edisi Jumadal Akhirah 1439 H)

Apalagi hal tersebut juga didukung oleh kenyataan bahwa perlakuan terhadap tawanan perang dalam konteks peperangan yang dilegalkan, disepakati, dan sesuai dengan ketentuan sistem peperangan di masing-masing zaman itu berbeda, bahkan ketentuan dalam masing-masing agama pun juga berbeda. Pada masa pra Islam, misalnya, para tawanan perang diperlakukan secara tidak manusiawi; mereka dianiaya, ditindas, juga dibunuh. Kalau pun perlakukan kepada mereka itu sedikit lembut—hukumannya diringankan, tetap saja mereka akan dijadikan budak.
Di sisi lain, masyarakat modern, yang dikenal sebagai masyarakat pembela hak-hak demokrasi dan lebih maju dalam berpikir, nyatanya sama sekali juga tidak mengetahui undang-undang yang tepat dan adil dalam memperlakukan tawanan perang. Semua itu tentunya berbeda dengan undang-undang (syariat) Islam yang telah meletakkan syarat-syarat bagi mereka yang ditawan; yaitu tidak diperkenankan menawan selain mereka yang ikut berperang. Bahkan lebih dari itu, Islam malah menganjurkan kepada pemeluknya untuk berbuat baik, berlemah lembut, dan tidak menyakiti mereka. Dan, dalam batas tertentu Islam malah menganjurkan untuk membebaskan mereka.
Perlakuan Islam yang manusiawi tersebut dalam sejarahnya justru mendorong para tawanan perang secara suka rela memeluk Islam. Hal ini misalnya seperti kisah dua tawanan perang berikut ini:
1-    Kisah Tsumamah bin Atsal r.a.
Kisah Tsumamah bin Atsal r.a. ini diceritakan oleh Imam Bukhari dalam “Shahih-nya dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: “Suatu ketika, Rasulullah mengutus pasukan berkuda ke suatu daerah dekat Najd. Selang beberapa lama, mereka kemudian kembali dengan membawa tawanan seorang pemuda dari Bani Hunaifah bernama Tsumamah bin Atsal r.a. Mereka lalu mengikatnya di salah satu tiang yang ada di masjid. Kemudian Rasulullah menemuinya dan bertanya: ‘Apa yang kau miliki, wahai Tsumamah?’ Tsumamah menjawab: ‘Aku mempunyai pilihan, wahai Rasulullah! Jika engkau membunuhku, maka engkau telah membunuh orang yang memiliki darah. Jika engkau membebaskanku, maka engkau telah membebaskan orang yang tau terima kasih. Dan, jika engkau ingin harta benda, maka mintalah pada negaraku apa saja yang kau mau.’
Lalu Tsumamah ditinggalkan, hingga keesokan harinya, Rasulullah mendatanginya lagi, seraya bertanya: ‘Apa yang kau miliki, wahai Tsumamah?’ Tsumamah menjawab: ‘Sama seperti yang aku katakan sebelumnya, wahai Rasulullah.’ Rasulullah pun meninggalkannya lagi, dan datang kembali keesokan harinya, lalu bertanya lagi: ‘Apa yang kau miliki, wahai Tsumamah?’ Tsumamah menjawab: ‘Sama seperti yang aku katakan sebelumnya, wahai Rasulullah.’ Setelah itu, Rasulullah berkata, “Baiklah, bebaskanlah Tsumamah, wahai para sahabatku!’
Seketika itu, Tsumamah langsung pergi menuju pohon kurma yang terletak tidak jauh dari masjid. Di samping pohon itu, ia membersihkan dirinya kemudian masuk masjid. Ia lantas berkata: ‘Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ketahuilah, wahai Muhammad! Dahulu tidak ada wajah yang paling aku benci di muka bumi ini selain wajahmu, tetapi hari ini wajahmulah yang paling aku cintai. Dahulu tidak ada pula agama yang paling aku benci selain agamamu, tetapi sekarang agamamulah yang paling aku cintai. Dan dahulu pula, tidak ada negeri yang paling aku benci selain negerimu, tetapi hari ini, ia telah menjadi sebuah negeri yang paling aku cintai.’
Setelah itu, Tsumamah berkata, ‘Wahai Rasulullah, jika pasukan berkudamu itu menghukumku, sementara aku ingin berumrah, tindakan apa yang akan engkau ambil?’ Maka Rasulullah menjawabnya dengan suatu pendapat yang menyenangkan hatinya. Ia dipersilahkan melakukan ibadah umrah.
Sesampainya di Makkah, ada seseorang bertanya kepadanya: ‘Apakah kau penganut agama Shabiah?’ Tsumamah menjawab: ‘Tidak, aku telah masuk Islam bersama Rasulullah.’ Lantas orang itu berkata, ‘Oh, tidak mungkin. Sebab, tiada sesuatu pun yang datang dari negeri Yamamah—meski hal itu sebesar biji gandum sekalipun, kecuali ia telah mendapatkan izin dari Rasulullah.’”
2-    Kisah Abbas
Kisah lain mengenai kemanusiaan Rasulullah tersebut disebutkan juga oleh Imam Bukhari dalam “Shahih”-nya,[1] dari Jabir bin Abdullah r.a. Ia berkata: “Pada saat perang Badar, terdapat beberapa tawanan, salah satunya adalah Abbas. Ia ketika ditawan memang sedang tidak berpakaian. Sehingga hal ini membuat Rasulullah sendiri mencarikan pakaian untuknya. Lalu didapatilah pakaian milik salah satu sahabat bernama Abdullah bin Ubay yang cocok dengan tubuhnya. Lalu Rasulullah pun memakaikan padanya serta merapikannya.
3-    Tawanan Bani ‘Uqail
Dalam kisah lain, disebutkan dahulu Bani Tsaqif adalah sekutu Bani ‘Uqail. Pada suatu ketika, Bani Tsaqif menawan dua sehabat Rasulullah dan sebaliknya para sahabat juga menawan seorang dari Bani ‘Uqail juga untanya. Lalu, Rasulullah mendatanginya. Dalam keadaan terikat, tawanan itu berseru: “Wahai Muhammad!” Rasulullah mendekat dan berkata: “Ada apa denganmu?” Si tawanan itu bertanya balik: “Kenapa engkau menawan aku dan juga untaku?” Rasulullah menjawab: “Aku menawanmu karena kesalahanmu itu sendiri.” Lalu Rasulullah berpaling darinya, akan tetapi si tawanan itu kembali memanggil: “Wahai Muhammad! Wahai Muhammad!” Dengan kasih sayang dan kelembutannya, Rasulullah kembali menemuinya, seraya bertanya: “Ada apa?” Tawanan itu menjawab: “Sesungguhnya, aku seorang muslim.” Rasulullah berkata: “Seandainya kau benar-benar memegang ucapanmu itu, maka kau pasti akan mendapatkan keberuntungan.” Lalu Rasulullah kembali meninggalkannya, seketika tawanan itu memanggil kembali: “Wahai Muhammad! Wahai Muhammad!” Rasulullah pun kembali menghampirinya dan bertanya: “Ada apa lagi?” Tawanan itu menjawab: “Aku lapar, berikanlah aku makan. Aku juga haus, berilah aku minum!” Rasulullah berkata: “Ini, aku penuhi kebutuhanmu.”
Oleh karena sikap toleransi dan budi pekerti Rasulullah yang lembut tersebut, para tawanan akhirnya juga memiliki sikap ramah, tidak enggan untuk cakap-cakap, dan berdialog dengan beliau. Beliau pun juga merespon mereka dengan tangan terbukan dan sedikit pun tanpa didasari rasa benci.


Bahkan, sesungguhnya syariat Islam juga melarang menyiksa para tawanan meski itu dilakukan agar mendapatkan informasi mengenai keadaan musuh. Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Sahnun pernah berkata: “Ada salah seorang bertanya kepada salah satu ulama, “Apakah kita diperbolehkan menghukum tawanan agar ia mau menunjukkan celah musuh kepada kita?” Ulama itu menjawab: “Aku tidak pernah mendengar perbuatan semacam itu diperbolehkan—oleh para ulama terdahulu.”[2]
Imam Al-Thabari dalam kitab “Târikh Thabari”-nya juga meriwayatkan sebuah kisah yang ia nukil dari ‘Urwah dari Zubair r.a. Ia berkata, “Suatu ketika, Rasulullah mengecam sebagian sahabat yang memukul dua orang Quraisy tawanan perang Badar”. Lantas Rasulullah berkata: “Apabila pemuda ini benar-benar mengatakan sebuah kebenaran, apakah kalian tetap memukulinya, dan apabila mereka berkata bohong, apakah kalian akan meninggalkannya? Padahal kedua pemuda itu telah menyuplai air ke tentara oposisi.”

Bersambung…




[1] Lihat: Imam Bukhari, Shahih Bukhari, bab al-Kiswah li al-Usârâ.
[2]. Ibn Zaid al-Qayruwâny, al-Nawâdir wa al-Ziyâdât ‘ala mâ fî al-Mudawwanah min ghairihâ, Cet. Dar al-Gharb al-Islami, 3/73.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan pada suatu apapun. Ma

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) dan pengetahuan yang besifat tashdiqi (definit

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent

10 Prinsip Dasar Ulumul Quran

A. Ta’rif/Definisi Ulumul Quran      Ulumul Quran merupakan kumpulan masalah dan pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.  B. Maudhu’/Objek pembahasan Ulumul Quran        Ulumul Quran adalah satu disiplin ilmu yang fokus membahas masalah-masalah Alquran. Mulai dari pembahasan Nuzulul Quran, penugmpulan ayat-ayat Alquran, urutan ayat, bayanul wujuh (penjelasan tentang peristiwa yang mengiringi turunnya suatu ayat Alquran), Asbabun Nuzul, penjelasan sesuatu yan asing dalam Alquran, dan Daf’us syubuhat (menjawab keraguan yang mempengaruhi  keeksistensian Alquran), Dsb. C.  Tsamroh/Manfaat mempelajari Ulumul Quran Dalam kitab Ta’limul Muta’allim syekh Az-zarnuji mengungkapkan; bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil tersendiri. Adapun hasil dari mempelajari Ulumul Quran adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peristiwa yang mempengaruhi Al quran dari masa baginda nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.  2. Megetahui keraguan-keraguan yang datang dari beberapa arah, ser

10 Prisnsip Dasar Ilmu Nahwu

A.      Takrif: Definisi ilmu Nahwu Dalam pembahasan ini, definisi ilmu Nahwu bisa diketahui dari dua hal: 1.       Secara Etimologi (Bahasa). Lafaz An-nahwu setidaknya memiliki 14 padanan kata. Tapi hanya ada 6 makna yang masyhur di kalangan para pelajar; yakni Al-qoshdu (niat), Al-mitslu (contoh), Al-jihatu (arah tujuan perjalanan), Al-miqdaru (nilai suatu timbangan), Al-qismu (pembagian suatu jumlah bilangan), Al-ba’dhu (sebagaian dari jumlah keseluruhan). النحو Terjemahan Padanan kata Niat النية Contoh المثل Arah الجهة Nilai, Kadar المقدار Bagian القسم Sebagian البعض 2.       Secara Terminologi (istilah). Dalam hal ini Ilmu Nahwu memiliki 3 pengertian:  a) Ilmu Nahwu adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kondisi yang terletak di akhir suatu kalimat, baik kalimat itu berstatus mu’rob maupun mabni, dan ini adalah