Langsung ke konten utama

Alumni Al-Azhar; Sebuah Upaya Menyatukan Kelompok Islam Liberal dan Islam Radikal Di Indonesia

 

Oleh: Syahril Ikhwan (Mahasiswa Al-Azhar Fakultas Ushuluddin)



 


Sampai saat kini, Masyarakat Indonesia khususnya kaum muslim masih saja sering berselisih dan bertengkar membela kelompok masing-masing yang merasa paling benar, sehingga hal demikian membuat masyarakat Islam di Indonesia sulit menemukan satu titik kesatuan. Asumsi terhadap permasalahan ini memang berdasarkan fakta dan realita yang terjadi di dalam tubuh masyarakat Islam di Indonesia saat ini. Betapa tidak? realitas historis dan sosiologis menunjukkan bahwa umat Islam Indonesia  terdiri dari beragam paham, beragam praktik keagamaan bahkan cenderung tidak mengikuti salah satu mazhab. Keragaman ini semakin berwarna ketika Islam dibawa masuk  ke ranah kehidupan masyarakat yang lebih luas: politik, ekonomi, dan sosial budaya.[1] Dengan demikian wajar adanya asumsi demikian terhadap masyarakat Islam di Indonesia sejak dulu hingga sekarang ini.

Oleh karena itu, dalam rangka melihat realitas masyarakat muslim di Indonesia, maka seharusnya terlebih dahulu dipahami problem dasar dari hal yang menyebabkan persatuan tersebut tak kunjung dicapai. Kemudian dari hal tersebut berlanjut kepada objek suatu kelompok yang berselisih lalu  kita mencoba mencari persamaan dari kelompok tersebut dan berusaha menghindari adanya perselisihan atau mengedepankan perbedaan-perbedaan di antara kita. Sejauh ini kelompok-kelompok muslim di Indonesia yang masih terasa perseteruannya adalah kelompok Islam Liberal dan Islam Radikal.

Dalam konteks ini, dalam melihat dua kelompok di atas,  pertama-tama perlu dipahami bahwa istilah “liberal”  tersebut merujuk kepada Islam liberal[2] bukan Liberalisme seperti yang kita tahu pada umumnya. Secara sederhana liberalisme merupakan suatu paham yang memandang bahwa manusia memiliki kebebasan dalam hidupnya, manusia adalah pribadi otonom (bebas sebebasnya, tak terikat dengan aturan agama)[3]. Sedangkan Islam liberal adalah konsep liberalisme (kebebasan) tersebut kemudian dibawa kepada Islam yang dalam praktiknya memiliki batasan berupa aturan-aturan yang harus dijalankan (Syariat). Oleh karena demikian Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa paham liberalisme Islam selanjutnya disebut Islam liberal adalah bertolak belakang dengan ajaran agama Islam.[4]

Jika Islam liberal disebut sebagai golongan kiri, maka Islam radikal disebut sebagai golongan kanan, yang dalam realitasnya dua kelompok ini sangat bertolak belakang. Kelompok ini ada sejak munculnya transisi demokrasi yang ditandai oleh tumbangnya kekuasan Suharto, beragam varian gerakan radikal atau Islam non –mainstream di Indonesia muncul dan menjadi bagian penting dari Islam Indonesia. Gambaran dari bertolak belakangnya dua kelompok tersebut tergambar dari tulisan gus dur yang mengatakan:

“... belakangan ini suara kelompok Islam garis keras tampak Mendominasi wacana politik, padahal jumlah pengikutnya tidaklah banyak dibandingkan Islam moderat. Oleh karena itu, merupakan tantangan bagi Islam moderat untuk mengambil kembali inisiatif yang selama masa kritis telah terlepas...”[5]

 

Pernyataan Gus Dur tersebut jelas merupakan sebuah peringatan keras serta kekhawatiranya akan dominasi Islam garis keras yang kian hari kian menunjukkan eksistensinya. Oleh karena itu, dalam hal ini Gus Dur memberikan pesan kepada kelompoknya_yang ia klaim sebagai islam moderat_untuk mewaspadai pergeseran gerakan Islam demikian yang ditandai dengan maraknya Islam radikal atau Islam non-mainstream di ruang publik Negara-Bangsa. Sementara itu Islam mainstream atau Islam moderat yang dimaksudkan Gus Dur lambat laun mulai tergerus dan bergerak ke kawasan pinggiran. Seperti halnya Liberalisme Islam dilarang pahamnya di Indonesia, Islam radikal pun praktiknya di larang.  Hal itu dibuktikan beberapa tahun belakangan ini di era pemerintah-an Jokowi tercatat  sudah dua Ormas Islam yang terafiliasi radikal telah dibubarkan yaitu HTI dan FPI.

 

Maka dalam konteks ini, teranglah garis merahnya bahwa masyarakat muslim Indonesia masih saja belum menemukan titik persatuan tersebut. Karenanya, sangat perlu kiranya solusi dan narasi akan persatuan itu terus diupayakan dan didengungkan. Sebab kesatuan umat adalah kunci awal untuk membangun masyarakat yang berbudi pekerti tinggi di samping membangun dan meningkatkan Sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) yang lebih baik lagi. Oleh karena itu, jika melihat perselisihan atau akar masalah antara dua kelompok Islam di atas yang satunya ke kiri dan satunya ke kanan, maka dibutuhkan juga satu kelompok perekat atau pemersatu yang gagasannya tidak condong ke kanan ataupun ke kiri, yang dalam bahasa kekiniannya adalah yang berpaham moderat (wasathiyah).

 

Membahas paham wasathiyah maka sekarang tertuju pandangan dan harapan kita kepada mahasiswa dan alumni al-Azhar, Kairo Mesir. Lalu mungkinkah mahasiswa al Azhar ataupun alumni-alumninya dapat menjawab persoalan tersebut? Jika iya, bagaimana cara mereka menemukan solusi akan persatuan yang diharapkan tersebut? Setelah menemukan persatuan atau konsep persatuan tersebut, lantas  mesti dibawa kemanakah atau “Quo Vadis” masyarakat muslim Indonesia ini dalam menjawab tantangan era ini? Dalam rangka upaya mencari solusi perselisihan umat dan menemukan persatuan, maka hemat saya perlu bagi kita untuk mengetahui dan mencari terlebih dahulu mengenai titik persamaan antara dua kelompok Islam yang berselisih terebut. Hal yang sama juga pernah coba dilakukan oleh Sukarno dengan konsep NASAKOM[6] nya terdahulu, yaitu berupaya menyatukan tiga paham yang sangat bertolak belakang dengan mencari titik persamaan di antara ke tiga paham tersebut demi mewujudkan persatuan nasional, meski pada akhirnya hal tersebut tak sesuai dengan yang ia harapkan. Namun saat ini, saya optimis bahwa dua kelompok Islam di atas dapat bersatu padu dengan mengutamakan persamaan dan menghindari perbedaan dengan mengatasnamakan persatuan Islam dan kebaikan masyarakat muslim Indonesia kedepannya.

 

Antara Islam Liberal dan Islam Radikal

Kelompok Islam liberal memiliki dalih tersendiri atas tindakan-tindakan yang mereka lakukan selama ini dengan mencoba mengkambing-hitamkan kelompok Islam Radikal. Hal itu tergambar dalam tulisan Budhy Munawar Rachman yang berbunyi:  

Belakangan ini, suara atas nama Islam direpresentasikan oleh kelompok-kelompok yang tidak mewakili sebagian besar umat Islam yaitu kelompok yang dalam buku ini disebut “Islam Fundamental dan Radikal”. Umat Islam secara keseluruhan mendapatkan stigma karena citra Islam Radikal ini. Alih-alih ingin berkompetisi di pentas global, umat Islam dirundung citra buruk di mata dunia dengan stigmatisasi radikalisme, bahkan terorisme. Islam diidentikkan dengan seluruh tindakan yang bernuansa kekerasan. Karena itulah pemikir Islam Liberal ini bekerja keras menghadirkan wajah Islam Liberal – dalam artian Islam yang penuh kedamaian, toleran, moderat, bahkan liberal, dan berkeadaban.[7]

 

Oleh karena itu, hal ini semakin menunjukkan bahwa kelompok Islam liberal dan Islam radikal di Indonesia memiliki perbedaan yang sangat fundamental, namun tidak juga menutup kemungkinan adanya satu atau dua celah menentukan kesamaan di antara keduanya.

 

Adapun kemunculan kelompok Islam Radikal di Indonesia menurut Khamami Zada dalam bukunya Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia(2002)[8] disebabkan oleh dua faktor. Pertama, faktor internal dari dalam umat Islam sendiri. Faktor ini dilandasi oleh kondisi internal umat Islam telah terjadi penyimpangan norma-norma agama. Kehidupan sekuler yang sudah merusak ke dalam kehidupan umat Islam dengan segala dampaknya mendorong mereka melakukan gerakan-gerakan kembali kepada otentitas (fundamen) Islam. Lebih lanjut lagi, ia memaparkan faktor kedua yang disebabkan oleh faktor eksternal di luar umat Islam, baik yang dilakukan rezim penguasa maupun hegemoni Barat.(1) Sikap represif rezim penguasa terhadap kelompok-kelompok Islam, seperti yang dilakukan Orde Baru telah membangkitkan radikalisme Islam. (2) Begitu pula kerisis kepemimpinan yang terjadi pasca-Orde Baru yang ditunjukkan dengan lemahnya peneggakan hukum, seperti di Ambon dan praktik kemaksiatan yang terjadi di masyarakat, telah mendorong gerakan Islam bahwa syariat Islam adalah solusi terbaik terhadap kerisis[9]. Oleh karena itu, dari kedua faktor tersebut menunjukkan bahwa kelompok Islam Radikal lahir disebabkan karena nilai-nilai Islam mulai tidak diindahkan dan kemudian juga seringkali menjadi korban dari keserakahan penguasa rezim saat itu.

Atas dasar demikian, setelah kita telaah bersama  dan mengetahui latar belakang serta perbedaan cukup jauh antara kelompok Islam Liberal dan Islam Radikal, saya kira siapa pun akan menaruh sikap pesimis jikalau dua kelompok tersebut coba disatukan. Namun ada hal yang unik, bahwa ada satu tempat persamaan kedua kelompok di atas, yaitu menginginkan agar Islam dan umatnya menjadi lebih maju dan kembali memiliki citra baik di publik nasional maupun Internasional.

Lantas kemudian, hal yang menjadi persoalan sekarang adalah siapa yang dapat mengeratkan dan mempersatukan keduanya? dengan mengedepankan asas kesamaan tersebut dan menyampingkan asas perbedaan yang sama-sama mereka miliki demi kepentingan Islam. Karena itu, maka hemat saya  hal ini adalah pekerjaan yang cukup ideal bagi mereka yang mampu memahami konsep Wasathiyah (moderat) yang dalam hal ini adalah Mahasiswa/ mahasiswi dan alumni al-Azhar Mesir. Karena sejauh ini, al-Azhar senantiasa berpesan kepada  alumninya agar selalu menjadi bagian dari solusi atas persoalan yang dihadapi masyarakat dan bukan menambah persoalan. Pesan tersebut terekam dalam ucapan Prof. Dr. Nadzir Iyadh (Sekjen Lembaga Riset Islam Al-Azhar) saat mewaikili Grand Syekh pada acara Wisuda yang diadakan KBRI Kairo, PPMI Mesir dan Universitas al-Azhar tahun 2019. Ia mengatakan: “Saya tidak akan pernah bosan mengingatkan kalian semua agar menghindari sikap fanatik golongan, sebab ia bukan sikap seseorang yang telah meraih gelar sarjana dari Al-Azhar. Bersikaplah terbuka dan menjadi perekat umat”. Oleh karena itu, sikap optimis perlu dibangun karena kelak pasti akan ada titik pertemuan dan persatuan tersebut, hanya tinggal menunggu waktu dan generasi-generasi moderat itu akan kembali ke tanah air dan memecahkan persoalan ini.

Adapun untuk memudahkan dalam memahami semua penjelasan sebelumnya terkait konsep persatuan antara kelompok Islam Liberal dan Islam Radikal yang diinisiasi oleh kelompok moderat (Wasathiyah), maka saya buatkan diagram sebagai berikut:

 

 

Epilog

Perbedaan di antara ummat tidak selalu menunjukkan kepada hal-hal yang negatif, melainkan keberagaman pandangan atau paham tersebut kadang dapat menjadi motivasi bagi kita untuk terus mengupayakan kesatuan demi kemajuan masyarakat muslim Indonesia maupun global. Perbedaan pandangan hingga cenderung kepada perselisihan di antara  Islam Liberal dan Islam Radikal merupakan satu pekerjaan rumah yang cukup berat bagi sarjana-sarjana muslim utamanya mahasiswa dan mahasiwi al-Azhar yang berpandangan moderat (wasathiyyah)  untuk kemudian menemukan dan mencarikan suatu celah kesamaan sehingga menjadi solusi akan persatuan umat  untuk kedepannya yang lebih baik lagi. Oleh karenanya, mahasiwa maupun mahasiswi al-Azhar pertama-tama harus menyadari tanggung jawab besar tersebut, sehingga kelak ketika sudah berada di tanah air  justru tidak menjadi bagian persoalan atau menambah persoalan, namun seharusnya menjadi Agent perubahan di dalam masyarakat Islam di Indonesia di masa mendatang.

 

 

DAFTAR PUSTAKA 

Buku-buku:


Munawar Rachman, Budhy. (2011). Islam dan Liberalisme. Jakarta Selatan. Friedrich

Naumann Stiftung

Sayyid al-Azhary, Usamah. (2015) Islam Radikal;Telaah Kritis Radikalisme Dari

Ikhwanul Muslimin hingga ISIS. Abu Dhabi. Dar al-Faqih

Sukarno. (2016). Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta. Banana Books

         Wahid, Abdurrahman. (2001). Tantangan Bagi Islam Moderat untuk Ambil Inisiatif, Kompas

       Zada, Khamami. (2002). Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta Selatan. Teraju

  

Link, Jurnal dll:

 

Aida, Ridha. (2005). Liberalisme dan Komunitarianisme: Konsep tentang Individu dan

Kommunitas. DEMOKRASI Vol.IV No.2

Muhibbudin, Ahmad Lutfhi. (2021). Liberalisasi Pemikiran Islam Dan Kritik Terhadap

Islam Liberal. Tahdzib Al-Akhlaq/ Vol 4/ No. 2. https://doi.org/10.34005/tahdzib.v4i2.1586 Nasir Omar, Mohd. (2011). Mengenal Pemikiran Islam Liberal. Jurnal Substantia.Vol.

14, No. 1

Rubaidi. (2011). Variasi Gerakan Radikal Islam Di Indonesia. Analisi.Volume XI, Nomor1 

 

  

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

             



[1] Bagaimana Islam membangun persatuan dalam keberagaman. Link: https://Ims.syamok.unm.ac.id/mod/resource/view.php?id=435850  

[2] Islam dan Liberalisme - Almanhaj. Link: https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html  

[3] Ibid.

[4] Penjelasan Tentang Fatwa Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme Agama. Link: https://mirror.mui.or.id/wp-content/uploads/files/fatwa/12b.-Penjelasan-Tentang-Fatwa-Pluralisme-Liberalisme-danSe.pdf  

[5] Abdurrahman Wahid, “Tantangan Bagi Islam Moderat untuk Ambil Inisiatif”, Kompas/ 20 Desember 2001.

[6] Sukarno. Di Bawah Bendera Revolusi, (Jakarta:Banana Books,2016)

[7] Budhy Munawar Rachman. Islam dan Liberalisme, (Jakarta Selatan:Friedrich Naumann Stiftung, 2011)

Cet. 1

[8] Khamami Zada. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta Selatan:Teraju, 2002) Cet. 1

[9] Ibid. hlm. 11





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Apa Makna Sifat Wahdaniyah?

Sifat wahdaniyah merupakan salah satu sifat Salbiyah dari sifat-sifat wajib Allah. Sifat salbiyyah yaitu: هي الصفات التي تنفي عن الله ما لا يليق بذاته تعالى "Sifat-sifat yang menafikan dari Allah segala sifat yang tidak layak pada Dzat-Nya" Maka sifat wahdaniyah adalah sifat yang menafikan at-ta'ddud (berbilang-bilang), baik itu berbilang dalam dzat (at-ta'addud fî ad-dzât), berbilang dalam sifat (at-ta'addud fî ash-shifât) dan berbilang pada perbuatan (at-ta'addud fî al-af'âl). Adapun rinciannya sebagai berikut: 1.        Keesaan Dzat (Wahdah ad-Dzât) , ada dua macam: a.        Nafyu al-Kamm al-Muttashil (menafikan ketersusunan internal) Artinya, bahwa dzat Allah tidak tersusun dari partikel apapun, baik itu jauhar mutahayyiz, 'ardh ataupun jism. Dalil rasional: "Jikalau suatu dzat tersusun dari bagian-bagian, artinya dzat itu membutuhkan kepada dzat yang membentuknya. Sedangkan Allah mustahil membutuhkan pada suatu apapun. Ma

10 Prinsip Dasar Ilmu Mantiq

 كل فن عشرة # الحد والموضوع ثم الثمرة ونسبة وفضله والواضع # والاسم الاستمداد حكم الشارع مسائل والبعض بالبعض اكتفى # ومن درى الجميع حاز الشرفا      Dalam memahami suatu permasalahan, terkadang kita mengalami kekeliruan/salah paham, karena pada tabiatnya akal manusia sangat terbatas dalam berpikir bahkan lemah dalam memahami esensi suatu permasalahan. Karena pola pikir manusia selamanya tidak berada pada jalur kebenaran. Oleh karena itu, manusia membutuhkan seperangkat alat yang bisa menjaga pola pikirnya dari kekeliruan dan kesalahpahaman, serta membantunya dalam mengoperasikan daya pikirnya sebaik mungkin. Alat tersebut dinamakan dengan ilmu Mantiq. Pada kesempatan ini, kami akan mencoba mengulas Mabadi ‘Asyaroh - 10 prinsip dasar -  ilmu Mantiq. A.  Takrif: Definisi Ilmu Mantiq      Ditinjau dari aspek pembahasannya, ilmu Mantiq adalah ilmu yang membahas tentang maklumat – pengetahuan - yang bersifat tashowwuri (deskriptif) dan pengetahuan yang besifat tashdiqi (definit

10 Prinsip Dasar Ilmu Tauhid

A. Al-Hadd: Definisi Ilmu Tauhid Ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang bisa meneguhkan dan menguatkan keyakinan dalam beragama seorang hamba. Juga bisa dikatakan, ilmu Tauhid adalah ilmu pengetahuan yang membahas jalan dan metode yang bisa mengantarkan kita kepada keyakinan tersebut, melalui hujjah (argumentasi) untuk mempertahankannya. Dan juga ilmu tentang cara menjawab keraguan-keraguan yang digencarkan oleh musuh-musuh Islam dengan tujuan menghancurkan agama Islam itu sendiri. B. Maudhu’: Objek Pembahasan Ilmu Tauhid Ada beberapa pembahasan yang dijelaskan dalam ilmu ini, mulai dari pembahasan `maujud` (entitas, sesuatu yang ada), `ma’dum` (sesuatu yang tidak ada), sampai pembahasan tentang sesuatu yang bisa menguatkan keyakinan seorang muslim, melalui metode nadzori (rasionalitas) dan metode ilmi (mengetahui esensi ilmu tauhid), serta metode bagaimana caranya kita supaya mampu memberikan argumentasi untuk mempertahankan keyakinan tersebut. Ketika membahas ent

10 Prinsip Dasar Ulumul Quran

A. Ta’rif/Definisi Ulumul Quran      Ulumul Quran merupakan kumpulan masalah dan pembahasan yang berkaitan dengan Alquran.  B. Maudhu’/Objek pembahasan Ulumul Quran        Ulumul Quran adalah satu disiplin ilmu yang fokus membahas masalah-masalah Alquran. Mulai dari pembahasan Nuzulul Quran, penugmpulan ayat-ayat Alquran, urutan ayat, bayanul wujuh (penjelasan tentang peristiwa yang mengiringi turunnya suatu ayat Alquran), Asbabun Nuzul, penjelasan sesuatu yan asing dalam Alquran, dan Daf’us syubuhat (menjawab keraguan yang mempengaruhi  keeksistensian Alquran), Dsb. C.  Tsamroh/Manfaat mempelajari Ulumul Quran Dalam kitab Ta’limul Muta’allim syekh Az-zarnuji mengungkapkan; bahwa setiap usaha pasti membuahkan hasil tersendiri. Adapun hasil dari mempelajari Ulumul Quran adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peristiwa yang mempengaruhi Al quran dari masa baginda nabi Muhammad SAW. hingga sekarang.  2. Megetahui keraguan-keraguan yang datang dari beberapa arah, ser

10 Prisnsip Dasar Ilmu Nahwu

A.      Takrif: Definisi ilmu Nahwu Dalam pembahasan ini, definisi ilmu Nahwu bisa diketahui dari dua hal: 1.       Secara Etimologi (Bahasa). Lafaz An-nahwu setidaknya memiliki 14 padanan kata. Tapi hanya ada 6 makna yang masyhur di kalangan para pelajar; yakni Al-qoshdu (niat), Al-mitslu (contoh), Al-jihatu (arah tujuan perjalanan), Al-miqdaru (nilai suatu timbangan), Al-qismu (pembagian suatu jumlah bilangan), Al-ba’dhu (sebagaian dari jumlah keseluruhan). النحو Terjemahan Padanan kata Niat النية Contoh المثل Arah الجهة Nilai, Kadar المقدار Bagian القسم Sebagian البعض 2.       Secara Terminologi (istilah). Dalam hal ini Ilmu Nahwu memiliki 3 pengertian:  a) Ilmu Nahwu adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui kondisi yang terletak di akhir suatu kalimat, baik kalimat itu berstatus mu’rob maupun mabni, dan ini adalah