Notula Webinar Internasional Tajdid & Turats
Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Masa Bakti 2019-2020
المحاضر الأول
دكتور محمود محمد حسين رئيس قسم العقيدة والفلسفة كلية أصول الدين جامعة الأزهر بالقاهرة
▪ التجديد فى بيئة الإسلام وليس دعوة جديدة ولا غريبة ولا دخيلة
▪ أربعة عناصر للتجديد:
1. التجديد شريعة دينية وضرورة دينية (ضرورة التجديد)
إن اتحاد كل عصر فرق (السيوطي)
2. أن تحديد المفاهيم (أو تحديد الألفاظ)
كثير من الكلام منسوب إلى سقراط
3. أن تميّز بين الثابت والمتفرغ فى تراثنا الإسلامية (محل النزاع)
القرآن هو قطعية الثبوت وظنية الدلالة
4. بعض ضوابط التجديد
أئمة الكبار
الشريعة صالحة لكل زمان ومان فيجب التجديد حسب احتياج زمكانه وزمانه
من هو أهل فى التجديد؟
التجديد هو إعادة الشيء على مكانه.
الالتزام بقواعد اللغة العربية
Pemateri Kedua
Ust. Muhammad Nora Burhanuddin, Lc., Dipl.
Wacana Tajdid ini hadir
▪ Syekh Ahmad Thayyib:
Ada 3 kecenderungan para pengusung yang berusaha melakukan tajdid, terbagi menjadi 3 madrasah:
- Madrasah di Suriah, Duktur Toyyib At-Tijini (melakukan pendekatan materialisme)
- Madrasah di Maroko
- Madrasah di Mesir, Duktur Hasan Hanafi
▪ Mereka merasa melakukan Tajdid, tapi menggunakan pendekatan yang salah dengan memutus Turats
▪ Banyak yang merasa bisa melakukan Tajdid tapi tidak menggunakan pendekatan keilmuan Islam.
التجديد لغة مصدر من جدّد أي صيّر الشيء جديدًا
جعله عملًا أي يسّره يسرًا
▪ Tata cara membuat makna istilah:
Mengambil dalalah lughah, lalu mentakhsis sebagian maknanya menjadi makna khusus yang tidak luas, dan dipakai untuk menunjukkan sesuatu.
▪ Tajdid perlu suatu objek. Apa objek dari tajdid itu.
▪ Imam Syafi’i melakukan tajdid pada ilmu Ushul Fikih, supaya bisa dipelajari oleh generasi seterusnya.
▪ Amaliyatul ijtihad butuh empat rukun:
- Mujtahid
- Mashodir Ahkam: Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma’, Al-‘Aql(dalam istilah Al-Mushtashfa Imam Ghazali)
-
-
تجديد يتعلّق بمستجدّات حياة الناس وتجديد حلول مشكلاتها
Tajdid yang terkait dengan persoalan baru yang dilakukan manusia
القرآن والحديث شاملان لحوائجنا
Pemateri Ketiga
Dr. TGB. Muhammad Zainul Majdi, Lc., M.A.
ثلاث قال الإمام الغزالي لإحياء
- التجديد لا يعمله إلا المتخصصون فيه
- تقديم الأفكار الصحيحة
- يريد أن يعلّم الناس كيف نعيش بهذا الدين
معرفة الحضارة المختلفة
Panelis Pertama
Ust. Aniq Nawawi, Lc., M.A. (Maroko)
Telah dijelaskan oleh banyak pembicara bahwa tajdidmerupakan suatu keharusan dan di dalam perkara keagamaan sudah banyak sekali proses tajdid yang terjadi.
Istilah tajdid dihadapkan pada istilah turats sebab ada pergulatan antara teks turats dan realitas.
Para ulama berfikir bahwa tajdid itu penting. Ada yang mengistilahkan bahwa tajdid itu adalah modernisasi, revisi, evaluasi ajaran Islam agar setara dengan Barat.
Timbullah pergolakan; apakah tajdid itu diterima atau tidak?
Tajdid dalam masalah fikih teraktual (kontemporer) yang perlu dicari solusi hukumnya dan tidak ada teks-teks turats dalam kitab turats, tentunya yang akan dilakukan adalah istinbathmanhaji -yang menurut beliau tidak dipertentangkan- . Tapi bagaimana tajdid dalam kerangka ini merubah pondasi Islam dalam tatanan yang sangat ekstrim atau merubah ajaran furu'nya agar sesuai dengan peradaban barat. Ini lah yang menjadi pergolakan dalam tubuh Islam itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam menghadapi fenomena ini -tajdid dan turats seperti ini- para ulama terpecah menjadi tiga golongan:
A. Kelompok yang ingin mengabaikan realita modern dan berpegang pada turats;
B. Kelompok yang ingin adanya perubahan yang signifikan. Mereka menganggap turats tidak sesuai dengan perubahan zaman dan dianggap penghambat kemajuan Islam.
C. Kelompok yang mencari hubungan ideal antara turats dan tajdid.
Pemikiran Dr. Thaha Abdurrahman, ada kritik yang dilontarkan terhadap 3 kelompok sekaligus.
Beliau mengkritik kelompok pertama yang ingin mengabaikan realita dan berpegang pada turats. Beliau berpendapat bahwa bagaimanapun turats Islam tidak terlepas dari kondisi sosio kultur masyarakat pada saat itu, karena itu kemudian turats tidak bisa berdiri sendiri. Ada logika, linguistik, psikologi yang mendasari kelahirannya. Membawa turats tanpa membawa kondisi-kondisi seperti itu menjadikan turats terasa hambar.
Lalu, Thaha Abdurrahman mengkritik kelompok kedua. Di situ ada Muhammad Aroby. Muhammad Aroby mengatakan bahwa agar umat Islam maju, kita perlu memutuskan tali turats. Jangan turatsnya yang kita buang. Kita ambil peradaban barat yang jelas-jelas menciptakan kemajuan. Pendapat beliau dikritik oleh Thaha Abdurrahman. Nah Ini kemudian untuk menegaskan pentingnya peran ulama mukhossis/tertentu untuk melakukan tajdid. Beliau menyoroti bahwa tidak mungkin melakukan tajdidturats tanpa mengetahui apa itu turats yang mengklaim ingin ingin melakukan perubahan tanpa mengetahui turats. Ini klaim yang tak berdasar. Karena itu kemudian Beliau mengatakan dalam kitab tajdid Al-Manhaj: "Bagaimana mungkin seseorang yang tidak mengerti turats menganggap dirinya mampu melakukan evaluasi terhadap turats."
Inilah kritik dari beliau terhadap kelompok yang ingin memutus rantai turats. Pertanyaan besar dari beliau: Tolak ukur apa yang menjadikan peradaban barat lebih mulia daripada Islam? Apakah sesuatu yang berasal dari Barat lebih baik daripada yang berasal dari Islam?
Tidak semua yang dinukil dari orang-orang yang menganggap dirinya pembaharu itu lebih baik daripada yang dinukil dari ulama-ulama terdahulu.
Karena itu, kemudian dalam teorinya beliau menawarkan dua hal yang berbeda:
واقع الحداثة
روح الحداثة
Fenomena kemajuan. Contohnya fenomena kemajuan Barat dalam hal memegang peranan yang sama-sama kita ketahui saat ini.
Kita -wong Islam- tidak bisa mengcopy paste fenomena kemajuan Barat untuk kemudian kita terapkan dalam tubuh Islam, sebab kita punya karakter sendiri, punya pondasi sendiri. Oleh karena itu, yang bisa kita ambil adalah spirit kemajuan, spirit untuk menciptakan pijakan-pijakan atau loncatan-loncatan yang harus kita ikuti.
Nah karena itu yang ketiga adalah bagaimana kita mencari hubungan ideal antara keduanya. Thaha Abdurrahman menawarkan konsep pendekatan integratif komplementer (النظرة التكاملية) antara peradaban-peradaban. Itu yang ditawarkan oleh beliau. inilah yang membedakan antara kita dengan orang-orang yang membuang turats. Kelompok-kelompok yang membuang turats atau menolak pembaharuan melakukan konsep pendekatan parsial (النظرة التجزئية التفاضلية) yang lebih mengunggulkan pihaknya dan merendahkan pihak lain. Yang enggan menerima pembaharuan itu merasa cukup dengan turats. Yang memutuskan rantai turats merasa peradaban Islam tidak cukup untuk menggenjot kemajuan.
Inilah pengaruh dari konsep pendekatan parsial tersebut. Oleh karena itu untuk mencapai kemajuan perlu menerapkan konsep pendekatan integratif komplementer tadi. Pendekatan integratif komplementer instrumen pentingnya adalah جعل المنقول مأصولا(yang dinukil dari peradaban lain ke tubuh Islam dijadikan inti dari Islam, sebagai asas dari Islam).
Contohnya: Ilmu Mantiq itu kan berasal dari peradaban Yunani, lalu diambil oleh Islam melalui filter dan verifikasi terlebih dahulu. Makanya Mantiqnya ada yang diterima dan ada yang ditolak.
Seandainya para ulama melakukan pendekatan parsial tadi, pasti ada 2 pilihan: Menerima seutuhnya, atau menolak seutuhnya.
Karena para ulama melakukan pendekatan integratif komplementer tadi, yang terjadi adalah: Menerima sesuatu yang baik, dan menolak sesuatu yang tidak baik.
Penerapannya dapat kita lihat melalui kasus nikah shigor. Kan nikah tersebut dilarang oleh Islam karena dilarang oleh Nabi Saw. Tapi pertanyaannya ketika nikah shigor itu terjadi, apakah kemudian perlu dibatalkan atau disahkan?
Imam Ghazali (dalam kitab Al-Mustashfa) itu memberikan pendapat yang sangat menarik. Beliau berpendapat bahwa nikah tersebut harus dibatalkan. Proses pendekatan untuk membatalkan nikah tersebut dengan pendekatan logika formal ala aristotelian. Beliau mengatakan
كل منهي عنه فهو فاسد
Setiap sesuatu yang terlarang itu adalah rusak, harus dibatalkan ketika itu terjadi.
Nikah shigor itu terlarang, berarti nikah shigor adalah rusak (fasid).
Ini adalah pendekatan deduktif ala Aristoteles, tapi kemudian dipakai oleh imam Ghazali tanpa menghilangkan ciri khas Islam. Nah kemudian dari pendekatan deduktif ini muncul kaidah fikih yang kemudian menjadi ciri khas Islam itu sendiri. Kaidah tersebut berbunyi:
النهي يدل على فساد المنهي عنه
Ketika ada larangan, larangan itu menunjukkan bahwa sesuatu yang dilarangnya itu menjadi rusak jika dikerjakan.
Nah inilah yang ditekankan, bahwa proses lahirnya kaidah tadi berawal dari pendekatan deduktif ala aristotelian, lalu logika tadi diolah sedemikian rupa untuk menghasilkan turats baru. Inilah yang disebut جعل المنقول مأصولا (mengambil peradaban-peradaban barat yang sesuai dengan ajaran Islam, lalu diolah sedemikian rupa hingga membentuk teori-teori Islam yang baru).
Panelis Kedua
Ust. Ahmad Shidqi Mukhtasor (Malaysia)
Jamaluddin Al-Afghani menjadi tokoh yang dijadikan rujukan oleh Muhammadiyah
Notulis: Hamzah Assad Abdul Jabar, Junianto Nugroho
*karena beberapa kendala, notula yang tercatat kurang lengkap
Komentar