Dalam dunia periwayatan hadis, ada salah satu syarat yang harus ada
dalam sebuah hadis, yakni dhabit. Dalam kitab muqaddimah ibn as-shalah, muallif membagi pembahasan
dhabit ini menjadi 2 bagian; dhabtu as-shadri (kekuatan hafalan) dan dhabtu
al-kitabah (kejelian menulis).
Seperti yang kita ketahui, di awal masa kenabian, Rasulullah Saw.
melarang para sahabat untuk menulis atau membukukan hadis, karena masa itu
merupakan masa gencar-gencarnya turunnya wahyu. Larangan ini bukan taanpa
tujuan, setidaknya ada tiga alasan yang pernah ditangkap oleh penulis: Pertama,
memfokuskan sahabat untuk menulis wahyu (Alquran) yang diturunkan oleh Allah
Swt. Kedua, dikhawatirkan bercampurnya ayat Alquran dengan hadis nabawi.
Ketiga, menguatkan kekuatan hafalan.
Larangan di atas selamanya membatasi para sahabat nabi untuk
menulis hadis Rasulullah Saw. dengan adanya larangan ini, pada masa itu suara
sahabat terpecah menjadi dua bagian; kelompok yang menyetujui larangn penulisan
hadis, seperti Abu Sa’id al-Khudri, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar ibn
al-Khattab dan Abdullah bin Mas’ud. Dan ada pula kelompok yang memperbolehkan
penulisan hadis, seperti Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Husain bin Ali
bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
Setelah ada beberapa sahabat yang berani menuliskan hadis, kegiatan
ini berlanjut sampai beberapa abad, sebut saja di abad ke-3 hijriah. Abad ini
merupakan era keemasan dokumentasi hadis. Banyak sekali ulama yan mengabadikan hadis
yang diperolehnya dalam kitab-kitab hadisnya, seperti imam Yahya Ibn Ma’in,
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, dan Imam lainnya.
Kalau boleh disebut, Imam Yahya ibn Ma’in adalah guru aimmah
sittah (imam ahli hadis yan ada 6), karena mayoritas dari mereka pernah
duduk di pangkuan Imam Ibn Ma’in untuk mendengarkan hadis dan mempelajarinya.
Imam al-Dzahabi dalam kitab siyar a’lam an-nubala’ menceritakan biografi
Imam Ibn Ma’in. Nama kecil beliau adalah
Abu Zakariya Yahya Ibn Ma’in. Dilahirkan di Baghdad pada tahun 185 H, dan wafat
di Madinah pada tahun 233 H.
Ibn Ma’in termasuk ulama yang sangat mencintai hadis nabawi, hal
ini bisa dilihat dari keseriusannya menekuni dunia penulisan hadis. Beliau
menulis hadis sejak berusia 20 tahun, sampai beliau wafat. Dalam
kepenulisannya, beliau sangat antusias untuk memperoleh sebuah hadis. Suatu
ketika beliau datang menemui gurunya; Muhammad ibn Fadhl untuk menulis hadis
tentang bersandarnya Rasulullash Saw. beliau meminta sang guru untuk segera
membacakan hadis tersebut, beliau khawatir di waktu selanjutnya tidak bisa
menemui sang guru lagi. Setelah menulis hadis itu, Imam Ibn Ma’in meminta Imam Muhammad
ibn Fadhl untuk membacakan hadis tadi dari kitabnya, dengan tujuan menambah
kepercayaan dan kepastian hadis tersebut, baik dari sisi sanad maupun matan.
Saking semangatnnya menulis hadis, beliau pernah dijuluki orang
yang mempuyai 1 juta dokumentasi tulisan hadis, oleh karena itu, Imam Ali
al-Madini berkata; ilmu manusia itu bermuara kepada Imam Ibn Ma’in, karena
beliau berhasil membukukan salah satu sumber ilmu, yaitu hadis nabawi. Dalam
sutau kesempatan juga, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah mengapresiasi Imam
Ibnu Ma’in; jika ada sebuah hadis yang tidak diketahui oleh Imam Yahya Ibn
Ma’in maka itu bukan hadis, dia adalah lelaki yang diciptakan untuk masalah
ini; menekuni penulisan hadis dan menampakkan kebohongan para pendusta.
Peran Imam Ibn Ma’in di atas lantas membuat penduduk kota Madinah memuliakan
beliau. Pada saat beliau haji, ketika hendak menuju ke kota Madinah, beliau
tertimpa sakit, dan itu menjadi penyebab wafat beliau. Kabar ini kemudian
menyebar ke telinga para penduduk Madinah, mereka pun berbondong-bondon untuk
memberikan penghormatan terakhir untuk beiau. Imam Ibn Ma’in dimandikan di atas
kain sutra yang pernah dipakai untuk memandikan Rasulullah Saw. dan beliau
disemayamkan di pemakaman Baqi’. Di saat pemakaman beiau, penduduk madinah
memberikan persaksian bahwa beliau adalah orang yang mampu melemahkan
kebohongan terhadap Rasulullah Saw.
Inilah yang sepatutnya kita contoh dari beliau; menyegerakan
pekerjaan dan tidak menundanya sampai waktu yang tidak diketahui, khususnya
para thalibul ilmi; harus selalu memperhatikan setiap waktunya, apakah kita
sudah berhasil mendapat secercah faidah atau pelajaran dari guru pengajar atau
dari buku yang selalu menemani kita belajar.
Semoga Allah Swt. Selalu memberikan kita kekuatan dan kemauan untuk
terus belajar; guna menata langkah dalam mencapai cita-cita yan telah kita
rancang. Aamiin
Al-faqir: Syafil Umam.
1. 1. Kegemaran Imam Al
Jahizh, Al Fath, dan Ismail Al Qadhi terhadap ilmu.
Khatib Al Baghdadi meriwayatkan dalam kitabnya Taqyid al ‘Ilmi : Dari Abi Al Abbas Al Mubarrid ia berkata: aku tidak pernah melihat orang yang lebih gemar terhadap ilmu kecuali 3 orang, pertama, Al Jahizh (‘Amr bin Bahr), kedua, Imam Al Fath bin Khaqan, dan ketiga, Imam Ismail bin Ishaq Al Qadhi.
Imam AL Jahizh ketika ada sebuah buku ditangannya pasti ia membacanya dari awal sampai akhirnya, kitab apapun itu. Sampai sampai beliau menyewa sebuah gudang untuk meletakkan semua bukunya dan bermalam disana untuk menjaga buku bukunya.
Adapun Imam Al Fath
bin Khaqan adalah salah satu anggota kerajaan dinasti Abbasiyah. Khalifah Al
Mutawakkil mengangkatnya menjadi Menteri dansaudaranya. Beliau adalah orang
yang membawa kitabnya di lengan baju dan sepatunya. Setiap kali beliau akan
berdiri untuk sholat atau hajat lainnya, beliau mengeluarkan kitabnya dari
lengan bajunya.
Abi Al Abbas
melanjutkan, bahwa ia tidak pernah menemui Ismail Al Qadhi kecuali beliau dalam
keadaan sedang membaca buku atau sedang membersihkan debu debu pada bukunya.
2. 2. Imam Ibnu Suhnun
disuapi pelayannya ketika makan malam
Imam Ibnu Suhnun
memiliki surriyyah atau pelayan yang biasa dipanggil Ummu Mudam. Suatu
ketika, Ummu Mudam sedang bersama Imam Ibnu
Suhnun. Dan beliau sedang sibuk dengan karangannya. setelah Ummu Mudam
menunggu lama, akhirnya ia menyuapkan makanan kepada Imam Ibnu Suhnun dalam
keadaan masih mengarang. Sampai akhirnya tiba waktu azan shubuh. Kemudian Imam
Ibnu Suhnun menanyakan makan malamnya kepada Ummu Mudam, dan ia menjawab: “Demi
Allah wahai tuanku, aku telah menyuapimu tadi malam.” Dan Imam Ibnu Suhnun
tidak merasakan itu.
3. 3. Al Qadhi Imam
‘Iyadh meriwayatkan dalam kitabnya Al Ilma’ bahwasanya Ibnu Labbad
melakukan sholat shubuh dengan wudhu yang telah dilakukannya ketika sepertiga
malam selama 30 tahun, 15 tahun untuk ibadah dan 15 tahun untuk belajar.
4. 4. Imam Ibnu Abi Hatim
meminta kepada ima Al Qa’nabiy untuk membacakan kitab Al Muwatho’ kepadanya. Imam Al Qa’nabiy enyuruhnya untuk
datang besok pagi. Tetapi di waktu pagi hari itu Imam Ibnu Abi Hatim ada jadwal
belajar dengan Imam Al Hajjaj. Kemudian Imam Al Qa’nabiy menyuruhnya untuk
datang setelah selesai belajar dengan Imam Al Hajjaj. Tetapi ternyata Imam Ibnu
Abi Hatim juga telah memiliki jadwal belajar dengan guru lainnya. Dan baru
selesai jadwal belajarnya itu ketika malam hari. Akhirnya Imam Al Qa’nabiy
menyuruhnya untuk datang pada malam hari.
5. 5. Imam Ibnu Hatim
membacakan kitab kepada ayahnya, Imam Abu Hatim ketika sedang makan, berjalan
dan waktu kosongnya. Diceritakan pula, suatu ketika Imam Abu Hatim menjawab
pertanyaan anaknya tentang seorang perawi hadis dalam keadaan sakaratul maut.
Ketika itu Imam
Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya tentang perawi Uqbah bin Abdul Ghofir.
Dan ayahnya tetap menjawab pertanyaan anakny aitu dalam keadaan sudah lemah,
nafas terakhir yang memisahkan antara hidup dan mati. Begitulah kegemaran ayah
dalam memberikan ilmunya kepada anaknya, dan begitu pula kegemaran sang anak
dalam mencari ilmu kepada ayahnya. Keadaan apapuntidak mencegahnya untuk terus
mencari ilmu. Betapa berharganya waktu dan ilmu bagi mereka!
6. 6. Imam Tsa’lab adalah seorang ahli nahwu di Kufah. Al Marzubani adalah salah satu murid Imam Tsa’lab. Al Marzubani menceritakan penyebab wafat gurunya tersebut. Suatu ketika setelah pulang sholat ashar di masjid, Imam Tsa’lab pulang Kembali ke rumahnya. Para jamaah juga mengikutinya. Dalam perjalanannya sore itu, Imam Tsa’lab terus focus dengan bacaannya. Sampai sampai beliau tidak mendengar suara kauda yang sedang mengamuk didalamnya. Para jamaah yang lain sudah menepi dari jalan untuk menghindari amukan kuda tersebut. Kemudian Imam Tsa’lab tertabrak kuda tersebut dan kepalanya tersungkur kedalam sebuah galian. Imam Tsa’lab tidak mapu untuk berdiri. Kemudian para jamaah membawanya pulang ke rumah karena beliau merintih kesakitan. Dan peristiwa itu menjadi penyebab wafatnya Imam Tsa’lab
Notulis,
Nur Halimah
Komentar